Sejak 1909 silam. Sejak itu pula perlawanan rakyat tak pernah henti dalam menuntut kemerdekaan.
Ustadz alumni Universitas Al-Azhar, Kairo itu baru saja tiba di rumahnya, di suatu sore sepekan menjelang Ramadhan 1429H. Tak berselang lama pintu rumahnya yang terletak di wilayah Bacho, Narathiwat, Thailand Selatan digedor orang dengan keras. Tanpa syak wasangka pria kalem itu membuka pintu untuk mempersilakan tamunya masuk. Dor! Dor! Dor! Dor! Empat tembakan dari empat orang lelaki segera menyambutnya. Tak ayal, tubuh ustadz muda itu langsung jatuh ke lantai begitu empat butir peluru bersarang di tubuhnya.
Sang istri seketika berteriak histeris begitu mendengar suara tembakan dan melihat suaminya rebah berlumuran darah. Saat itu juga, sang ustadz (sebut saja Karim) menghembuskan nafas terakhirnya. Usai membunuh, keempat lelaki tersebut dengan santai meninggalkan rumah korban. Tetangga sekitar bergegas menutup pintu rumah masing-masing begitu terdengar suara tembakan. Seolah sudah mafhum apa yang terjadi, tiada satupun yang berani mendekat hingga sang “algojo” pergi.
Ketika Sabili mencoba mencari informasi dari istri dan keluarga korban, semuanya bungkam, enggan bersuara. Demikian pula dengan para tetangga sebelah rumah. “Sudahlah, Bapak. Jangan nanti kami yang jadi korban selanjutnya. Cukup sudah apa yang dialami saudara kami itu,” ujar salah seorang tetangga Karim yang enggan disebutkan namanya. “Kami di sini sudah cukup tertekan dan takut dengan kondisi saat ini, jangan sampai ada korban lagi,” lanjut lelaki yang juga berprofesi sebagai ustadz ini dalam Melayu yang cukup dimengerti.
Karim adalah salah satu di antara seratus ustadz, imam maupun guru yang menjadi korban penembakan, penculikan dan pembunuhan dalam kurun empat tahun terakhir. Suasana di lima provinsi di Thailand Selatan; Pattani, Yala, Narathiwat, Setun dan Songkhla hingga kini masih mencekam. Status Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan Kerajaan Thailand, terutama usai tragedi Tak Bai tahun 2004 silam (Baca: Sabili Edisi 4 Tahun XVI). Penduduk kelima wilayah ini mayoritas Bangsa Melayu dan beragama Islam, bahkan teguh memegang prinsip keislaman di tengah dominasi dan tekanan Bangsa Siam yang beragama Buddha. Mereka berbicara dalam Bahasa Melayu, tak jauh beda dengan Melayu Malaysia. Secara etnik dan kultur pun, mereka lebih dekat kepada Malaysia ketimbang dengan Siam.
Di setiap jalan, sudut-sudut kampung dan bandar (kota), maupun di wilayah-wilayah strategis seperti sekolah dan gedung-gedung pemerintahan, askar (tentara) Kerajaan Thailand melakukan patroli dan berjaga-jaga. Pemandangan dengan dominasi militer ini tak jauh beda dengan apa yang terjadi di Aceh, ketika masih berstatus DOM pada era Orde Baru (Orba) dulu. Ledakan bom, suara tembakan, pembunuhan dan penculikan merupakan menu sehari-hari yang “dinikmati” warga. Tiap hari, dua hingga tiga orang Muslim tewas terbunuh di wilayah yang berbatasan dengan Negara Malaysia tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan warga gerun (takut) dan merasa tertekan. Hingga, untuk berbicara saja mereka enggan. Beberapa orang yang mau diwawancarai Sabili meminta agar nama mereka tidak disebutkan atau disamarkan. “Mohon pengertian Bapak,” ujar salah seorang pejabat pemerintah di Provinsi Yala. “Kami tak berani cakap (berbicara) macam-macam, takut karena kondisi sedang teruk (buruk).”
Tuan Guru Haji Ismail Hari, Kadi Syar’i Majelis Agama Islam Wilayah Yala, mengaku bisa memahami ketakutan warganya, karena situasinya memang demikian. “Umat Islam dan warga takut terhadap pemerintah. Situasinya mirip Aceh di Indonesia. Kebetulan saya juga pernah ke Aceh,” kata Ismail. “Tak kurang dari 30.000 tentara ditempatkan di seluruh Thailand Selatan ini.”
Ismail mengatakan, tak tahu siapa pelaku penembakan, penculikan, maupun pembunuhan terhadap para imam ataupun ustadz tersebut, hingga menyebabkan militer Thailand melakukan operasi besar-besaran di seluruh bekas Kesultanan Pattani tersebut. “Orang-orang hanya menuduh para pemberontak sebagai pelakunya. Siapa orangnya kita tidak tahu, tidak kenal. Tapi yang keluar beritanya adalah para pemberontak. Tidak ada yang tahu tentang masalah ini. Kalau kita tanya kerajaan, mereka jawab tidak tahu. Kita tanya warga, juga mereka tidak tahu,” jelasnya. Menurut Ismail, kejadian seperti ini sudah terjadi ratusan tahun lamanya di wilayah selatan Thailand, tapi menemukan puncaknya sejak lima tahun terakhir.
Hakim (bukan nama sebenarnya), salah seorang pejabat pemerintah di Yala mengatakan, Ustadz-ustadz maupun imam-imam yang dibunuh adalah orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata kerajaan. “Mereka dianggap penghianat oleh kelompok pejuang.”
Pernyataan Hakim ini ditolak mentah-mentah oleh Rusdi Tayek, Timbalan Yang Dipertua (Wakil Ketua) Majelis Agama Islam Wilayah Pattani. “Para pejuang Pattani tidak akan menyerang dan membunuh sesama Muslim. Tidak benar tudingan pemerintah selama ini yang menyatakan pelaku pembunuhan para ustadz adalah gerilyawan. Para pejuang tidak akan membunuh ustadz, guru atau imam-imam,” kata Rusdi.
Menrut Rusdi, para pejuang tidak melakukan penembakan secara brutal dan membabi- buta. Kalau menyerang, targetnya pasti askar dan orang-orang tertentu yang dianggap penghianat, bukan para ustadz. “Jika ingin membunuh satu orang, maka yang ditarget saja yang dibunuh yang lain tidak. Penculikan dan pembunuhan ustad atau guru itu dilakukan oleh pemerintah,” tandasnya.
Selain ustadz dan imam masjid, penduduk sipil pun juga turut menjadi korban dalam konflik berkepanjangan ini. Berdasarkan data yang diperoleh Sabili dari pejabat pemerintah di Yala dan Narathiwat, mulai 1-31 Agustus 2008 saja telah terjadi 88 kasus pembunuhan, penculikan maupun penembakan. Korban meninggal dunia mencapai 45 orang, luka-luka 136 orang. Kasus terbanyak terjadi di Pattani dengan 33 kasus, disusul Narathiwat 27 kasus, Yala 21 kasus dan Songkhla 7 kasus.
Jika dihitung sejak 4 Januari 2004 (karena mulai tahun ini suasana kian memanas) hingga 31 Agustus 2008, telah terjadi 6.942 kasus. Terbanyak di Narathiwat dengan 2.427 kasus, disusul Pattani 1.968 kasus, Yala 1.533 kasus dan Songkhla 339 kasus. Korbannya mencapai 4.346 orang, meninggal dunia 1.773 orang dan luka-luka 2.573 orang. Itu baru data resmi versi pemerintah. Jika merunut data tak resmi yang dihimpun warga dan kelompok pejuang HAM (Hak Azasi Manusia) maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), lebih dari 3.000 orang Muslim yang tewas sejak 2004 lalu. Belum lagi ratusan orang yang hilang tak tentu rimbanya. Data ini diperoleh dari hasil rata-rata korban yang mencapai dua hingga tiga orang per hari dari seluruh wilayah Thailand Selatan.
Perlawanan para pejuang
Warga Pattani dan sekitarnya yang gerah dengan keberadaan militer Thailand akhirnya melakukan perlawanan dengan cara gerilya. Apalagi sejak ratusan tahun lamanya Pattani dikuasai dan dikebiri oleh pemerintah Kerajaan Buddha tersebut. “Orang Siam ini, kalau sudah menjadi pejabat di tiga wilayah, mereka membawa orang-orang Siam dari utara untuk bekerja menjadi pegawai kerajaan. Sementara orang-orang Muslim di sini tidak ada yang menjadi pegawai kerajaan. Inilah yang menjadi puncak kemarahan warga. Tidak ada pejabat dari penduduk asli, semuanya Siam. Padahal 90 persen warga tiga wilayah ini adalah Melayu-Muslim,” kata Ismail Hari.
Fuad, salah seorang warga Yala dengan tegas menyebut telah terjadi siamisasi di negerinya. “Bagaimana tidak, sejak ratusan tahun kami dipaksa mengikuti budaya Siam. Harus bicara bahasa Siam, harus mengikuti ritual-ritual agama berbau Siam, harus mengganti nama menjadi nama Siam. Padahal kami adalah Bangsa Melayu yang beragama Islam,” ketusnya. “Seharusnya orang Siam yang mengikuti kultur Melayu, karena mereka minoritas di wilayah selatan ini,” tandas guru sekolah menengah di Yala ini.
Senada dengan Fuad, Yakub seorang pegawai swasta di Narathiwat, bahkan menegaskan bahwa bangsanya telah dijajah Siam sejak 1902. “Begitu Kesultanan Pattani masuk wilayah Siam, nama kerajaan pun berubah menjadi Thailand. Jangan salahkan rakyat melakukan perlawanan, karena kami melawan penjajah,” kata Yakub.
Warga dan para pejuang yang tak puas dengan pemerintah tak segan-segan mengangkat senjata dan melakukan serangan-serangan sporadis. Para pejuang Pattani ini ingin mengembalikan wilayah selatan ke pangkuan Melayu. Tiap hari dan malam, terdengar letusan senjata dan ledakan bom. Tiap hari ada saja tentara yang menjadi korban, namun tidak dipublikasikan oleh pemerintah. Tahun ini saja, tiga pesawat tempur militer Thailand berhasil dirontokkan para gerilyawan.
Terdapat beberapa elemen perjuangan rakyat Pattani yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Thailand. Di antaranya Pattani United Liberation Organisation (PULO), Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), Gerakan Islam Pattani (GIP), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP) dan Barisan Revolusi Nasional (BRN). BRN sendiri bertambah menjadi BRN Congress dan BRN Coordinate.
Meskipun semuanya menuntut kemerdekaan, tetapi masing-masing memiliki karakter dan identitas tersendiri. Pernah ada upaya untuk menyatukan semua gerakan perlawanan ini dalam satu atap, dengan menggunakan istilah Bersatu, namun tak efektif. Ketidakefektifan ini terjadi karena sejak awal didirikan ideologi mereka berbeda. Akhirnya mereka berjuang dengan cara masing-masing karena tidak mungkin disatukan dalam satu wadah.
Muhammad Abdur Rahman Abdus Samad, mantan Ketua Majelis Agama Islam Narathiwat yang juga tokoh masyarakat di Pattani, termasuk salah seorang ulama yang menyayangkan ketidakbersatuan gerakan-gerakan perjuangan ini. “Kalau semua unsur pejuang Pattani ini bersatu, merupakan hal yang sangat bagus sekali. Perjuangan akan menjadi mudah, tidak terlalu berat. Tapi memang susah untuk bersatu dan menjadi satu ideologi,” ujarnya.
Pada tahun 2006, beberapa kelompok perlawanan menandatangani perjanjian nota rekonsiliasi Joint Peace and Development Plan for South Thailand (Perdamaian Bersama dan Rencana Pembangunan Thailand Selatan). Di antara mereka adalah PULO, BRN Congress, GMIP dan Barisan Pembebasan Islam Pattani (BPIP). Namun, tidak menghasilkan hal-hal yang kongkrit demi terciptanya perdamaian. Akhirnya, gerakan-gerakan perjuangan mengangkat senjata dan melakukan perlawanan. Hingga kini yang termasuk aktif melakukan serangan adalah BRN dan PULO, namun kedua kelompok tak pernah mau mengaku. Gerilya yang mereka terapkan dilakukan secara underground dan diam-diam.
Inilah yang membuat sebagian besar warga Pattani bingung. Ada serangan terhadap militer Thailand, namun tidak ada pihak yang bertanggung-jawab. Semua gerakan perjuangan tutup mulut. Kondisi ini tentu saja kian memperuncing keadaan, karena dengan demikian, militer Thailand dapat melakukan serangan-serangan agresif dan pembunuhan semaunya. Mumpung trennya begitu –tak ada pihak yang mengaku-, yang otomatis sasaran tudingan akan mengarah kepada kelompok-kelompok perlawanan. Ibaratnya, militer kerajaan dapat memancing di air keruh, di tengah ketidakpastian situasi yang mendera. Hal ini sebenarnya disayangkan oleh sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Islam di wilayah selatan, karena yang kerap menjadi korban adalah warga sipil tak berdosa.
Seorang pejabat pemerintah di Provinsi Yala yang enggan disebutkan namanya mengatakan, terdapat banyak kelompok perlawanan di selatan Thailand, namun tidak ada yang mengaku kala terjadi serangan. “Di sini beda dengan negara-negara lain, dimana pelaku penyerangan atau pemboman biasanya mengaku dan menyebutkan diri. Di sini tak ada yang mengaku, padahal jelas-jelas mereka yang melakukan serangan terhadap askar (tentara) kerajaan,” katanya.
Berdasarkan informasi yang beredar secara terbatas, yang termasuk getol beraksi adalah kelompok BRN. Mereka pula yang kerap merepotkan tentara kerajaan dengan aksi-aksi “siluman” dengan menyerang secara hit and run. Pasukan kerajaan sendiri bingung bukan kepalang. Mereka mengibaratkan diri melawan hantu yang tak tampak, namun terasa benar efek serangannya. Telah banyak korban dari pihak tentara akibat serangan bom maupun tembakan sniper (penembak jitu). Namun, pemerintah Thailand tak pernah mempublikasikannya.
Sumber dari: chairulakhmad.wordpress.com
Dipetik daripada:
http://www.facebook.com/profile.php?id=100001008597745&ref=ts#!/notes/patani-fakta-dan-opini/perlawanan-tiada-henti-rakyat-patani/132975513392504Sang istri seketika berteriak histeris begitu mendengar suara tembakan dan melihat suaminya rebah berlumuran darah. Saat itu juga, sang ustadz (sebut saja Karim) menghembuskan nafas terakhirnya. Usai membunuh, keempat lelaki tersebut dengan santai meninggalkan rumah korban. Tetangga sekitar bergegas menutup pintu rumah masing-masing begitu terdengar suara tembakan. Seolah sudah mafhum apa yang terjadi, tiada satupun yang berani mendekat hingga sang “algojo” pergi.
Ketika Sabili mencoba mencari informasi dari istri dan keluarga korban, semuanya bungkam, enggan bersuara. Demikian pula dengan para tetangga sebelah rumah. “Sudahlah, Bapak. Jangan nanti kami yang jadi korban selanjutnya. Cukup sudah apa yang dialami saudara kami itu,” ujar salah seorang tetangga Karim yang enggan disebutkan namanya. “Kami di sini sudah cukup tertekan dan takut dengan kondisi saat ini, jangan sampai ada korban lagi,” lanjut lelaki yang juga berprofesi sebagai ustadz ini dalam Melayu yang cukup dimengerti.
Karim adalah salah satu di antara seratus ustadz, imam maupun guru yang menjadi korban penembakan, penculikan dan pembunuhan dalam kurun empat tahun terakhir. Suasana di lima provinsi di Thailand Selatan; Pattani, Yala, Narathiwat, Setun dan Songkhla hingga kini masih mencekam. Status Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan Kerajaan Thailand, terutama usai tragedi Tak Bai tahun 2004 silam (Baca: Sabili Edisi 4 Tahun XVI). Penduduk kelima wilayah ini mayoritas Bangsa Melayu dan beragama Islam, bahkan teguh memegang prinsip keislaman di tengah dominasi dan tekanan Bangsa Siam yang beragama Buddha. Mereka berbicara dalam Bahasa Melayu, tak jauh beda dengan Melayu Malaysia. Secara etnik dan kultur pun, mereka lebih dekat kepada Malaysia ketimbang dengan Siam.
Di setiap jalan, sudut-sudut kampung dan bandar (kota), maupun di wilayah-wilayah strategis seperti sekolah dan gedung-gedung pemerintahan, askar (tentara) Kerajaan Thailand melakukan patroli dan berjaga-jaga. Pemandangan dengan dominasi militer ini tak jauh beda dengan apa yang terjadi di Aceh, ketika masih berstatus DOM pada era Orde Baru (Orba) dulu. Ledakan bom, suara tembakan, pembunuhan dan penculikan merupakan menu sehari-hari yang “dinikmati” warga. Tiap hari, dua hingga tiga orang Muslim tewas terbunuh di wilayah yang berbatasan dengan Negara Malaysia tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan warga gerun (takut) dan merasa tertekan. Hingga, untuk berbicara saja mereka enggan. Beberapa orang yang mau diwawancarai Sabili meminta agar nama mereka tidak disebutkan atau disamarkan. “Mohon pengertian Bapak,” ujar salah seorang pejabat pemerintah di Provinsi Yala. “Kami tak berani cakap (berbicara) macam-macam, takut karena kondisi sedang teruk (buruk).”
Tuan Guru Haji Ismail Hari, Kadi Syar’i Majelis Agama Islam Wilayah Yala, mengaku bisa memahami ketakutan warganya, karena situasinya memang demikian. “Umat Islam dan warga takut terhadap pemerintah. Situasinya mirip Aceh di Indonesia. Kebetulan saya juga pernah ke Aceh,” kata Ismail. “Tak kurang dari 30.000 tentara ditempatkan di seluruh Thailand Selatan ini.”
Ismail mengatakan, tak tahu siapa pelaku penembakan, penculikan, maupun pembunuhan terhadap para imam ataupun ustadz tersebut, hingga menyebabkan militer Thailand melakukan operasi besar-besaran di seluruh bekas Kesultanan Pattani tersebut. “Orang-orang hanya menuduh para pemberontak sebagai pelakunya. Siapa orangnya kita tidak tahu, tidak kenal. Tapi yang keluar beritanya adalah para pemberontak. Tidak ada yang tahu tentang masalah ini. Kalau kita tanya kerajaan, mereka jawab tidak tahu. Kita tanya warga, juga mereka tidak tahu,” jelasnya. Menurut Ismail, kejadian seperti ini sudah terjadi ratusan tahun lamanya di wilayah selatan Thailand, tapi menemukan puncaknya sejak lima tahun terakhir.
Hakim (bukan nama sebenarnya), salah seorang pejabat pemerintah di Yala mengatakan, Ustadz-ustadz maupun imam-imam yang dibunuh adalah orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata kerajaan. “Mereka dianggap penghianat oleh kelompok pejuang.”
Pernyataan Hakim ini ditolak mentah-mentah oleh Rusdi Tayek, Timbalan Yang Dipertua (Wakil Ketua) Majelis Agama Islam Wilayah Pattani. “Para pejuang Pattani tidak akan menyerang dan membunuh sesama Muslim. Tidak benar tudingan pemerintah selama ini yang menyatakan pelaku pembunuhan para ustadz adalah gerilyawan. Para pejuang tidak akan membunuh ustadz, guru atau imam-imam,” kata Rusdi.
Menrut Rusdi, para pejuang tidak melakukan penembakan secara brutal dan membabi- buta. Kalau menyerang, targetnya pasti askar dan orang-orang tertentu yang dianggap penghianat, bukan para ustadz. “Jika ingin membunuh satu orang, maka yang ditarget saja yang dibunuh yang lain tidak. Penculikan dan pembunuhan ustad atau guru itu dilakukan oleh pemerintah,” tandasnya.
Selain ustadz dan imam masjid, penduduk sipil pun juga turut menjadi korban dalam konflik berkepanjangan ini. Berdasarkan data yang diperoleh Sabili dari pejabat pemerintah di Yala dan Narathiwat, mulai 1-31 Agustus 2008 saja telah terjadi 88 kasus pembunuhan, penculikan maupun penembakan. Korban meninggal dunia mencapai 45 orang, luka-luka 136 orang. Kasus terbanyak terjadi di Pattani dengan 33 kasus, disusul Narathiwat 27 kasus, Yala 21 kasus dan Songkhla 7 kasus.
Jika dihitung sejak 4 Januari 2004 (karena mulai tahun ini suasana kian memanas) hingga 31 Agustus 2008, telah terjadi 6.942 kasus. Terbanyak di Narathiwat dengan 2.427 kasus, disusul Pattani 1.968 kasus, Yala 1.533 kasus dan Songkhla 339 kasus. Korbannya mencapai 4.346 orang, meninggal dunia 1.773 orang dan luka-luka 2.573 orang. Itu baru data resmi versi pemerintah. Jika merunut data tak resmi yang dihimpun warga dan kelompok pejuang HAM (Hak Azasi Manusia) maupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), lebih dari 3.000 orang Muslim yang tewas sejak 2004 lalu. Belum lagi ratusan orang yang hilang tak tentu rimbanya. Data ini diperoleh dari hasil rata-rata korban yang mencapai dua hingga tiga orang per hari dari seluruh wilayah Thailand Selatan.
Perlawanan para pejuang
Warga Pattani dan sekitarnya yang gerah dengan keberadaan militer Thailand akhirnya melakukan perlawanan dengan cara gerilya. Apalagi sejak ratusan tahun lamanya Pattani dikuasai dan dikebiri oleh pemerintah Kerajaan Buddha tersebut. “Orang Siam ini, kalau sudah menjadi pejabat di tiga wilayah, mereka membawa orang-orang Siam dari utara untuk bekerja menjadi pegawai kerajaan. Sementara orang-orang Muslim di sini tidak ada yang menjadi pegawai kerajaan. Inilah yang menjadi puncak kemarahan warga. Tidak ada pejabat dari penduduk asli, semuanya Siam. Padahal 90 persen warga tiga wilayah ini adalah Melayu-Muslim,” kata Ismail Hari.
Fuad, salah seorang warga Yala dengan tegas menyebut telah terjadi siamisasi di negerinya. “Bagaimana tidak, sejak ratusan tahun kami dipaksa mengikuti budaya Siam. Harus bicara bahasa Siam, harus mengikuti ritual-ritual agama berbau Siam, harus mengganti nama menjadi nama Siam. Padahal kami adalah Bangsa Melayu yang beragama Islam,” ketusnya. “Seharusnya orang Siam yang mengikuti kultur Melayu, karena mereka minoritas di wilayah selatan ini,” tandas guru sekolah menengah di Yala ini.
Senada dengan Fuad, Yakub seorang pegawai swasta di Narathiwat, bahkan menegaskan bahwa bangsanya telah dijajah Siam sejak 1902. “Begitu Kesultanan Pattani masuk wilayah Siam, nama kerajaan pun berubah menjadi Thailand. Jangan salahkan rakyat melakukan perlawanan, karena kami melawan penjajah,” kata Yakub.
Warga dan para pejuang yang tak puas dengan pemerintah tak segan-segan mengangkat senjata dan melakukan serangan-serangan sporadis. Para pejuang Pattani ini ingin mengembalikan wilayah selatan ke pangkuan Melayu. Tiap hari dan malam, terdengar letusan senjata dan ledakan bom. Tiap hari ada saja tentara yang menjadi korban, namun tidak dipublikasikan oleh pemerintah. Tahun ini saja, tiga pesawat tempur militer Thailand berhasil dirontokkan para gerilyawan.
Terdapat beberapa elemen perjuangan rakyat Pattani yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Thailand. Di antaranya Pattani United Liberation Organisation (PULO), Gerakan Mujahidin Islam Pattani (GMIP), Gerakan Islam Pattani (GIP), Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP) dan Barisan Revolusi Nasional (BRN). BRN sendiri bertambah menjadi BRN Congress dan BRN Coordinate.
Meskipun semuanya menuntut kemerdekaan, tetapi masing-masing memiliki karakter dan identitas tersendiri. Pernah ada upaya untuk menyatukan semua gerakan perlawanan ini dalam satu atap, dengan menggunakan istilah Bersatu, namun tak efektif. Ketidakefektifan ini terjadi karena sejak awal didirikan ideologi mereka berbeda. Akhirnya mereka berjuang dengan cara masing-masing karena tidak mungkin disatukan dalam satu wadah.
Muhammad Abdur Rahman Abdus Samad, mantan Ketua Majelis Agama Islam Narathiwat yang juga tokoh masyarakat di Pattani, termasuk salah seorang ulama yang menyayangkan ketidakbersatuan gerakan-gerakan perjuangan ini. “Kalau semua unsur pejuang Pattani ini bersatu, merupakan hal yang sangat bagus sekali. Perjuangan akan menjadi mudah, tidak terlalu berat. Tapi memang susah untuk bersatu dan menjadi satu ideologi,” ujarnya.
Pada tahun 2006, beberapa kelompok perlawanan menandatangani perjanjian nota rekonsiliasi Joint Peace and Development Plan for South Thailand (Perdamaian Bersama dan Rencana Pembangunan Thailand Selatan). Di antara mereka adalah PULO, BRN Congress, GMIP dan Barisan Pembebasan Islam Pattani (BPIP). Namun, tidak menghasilkan hal-hal yang kongkrit demi terciptanya perdamaian. Akhirnya, gerakan-gerakan perjuangan mengangkat senjata dan melakukan perlawanan. Hingga kini yang termasuk aktif melakukan serangan adalah BRN dan PULO, namun kedua kelompok tak pernah mau mengaku. Gerilya yang mereka terapkan dilakukan secara underground dan diam-diam.
Inilah yang membuat sebagian besar warga Pattani bingung. Ada serangan terhadap militer Thailand, namun tidak ada pihak yang bertanggung-jawab. Semua gerakan perjuangan tutup mulut. Kondisi ini tentu saja kian memperuncing keadaan, karena dengan demikian, militer Thailand dapat melakukan serangan-serangan agresif dan pembunuhan semaunya. Mumpung trennya begitu –tak ada pihak yang mengaku-, yang otomatis sasaran tudingan akan mengarah kepada kelompok-kelompok perlawanan. Ibaratnya, militer kerajaan dapat memancing di air keruh, di tengah ketidakpastian situasi yang mendera. Hal ini sebenarnya disayangkan oleh sejumlah ulama dan tokoh masyarakat Islam di wilayah selatan, karena yang kerap menjadi korban adalah warga sipil tak berdosa.
Seorang pejabat pemerintah di Provinsi Yala yang enggan disebutkan namanya mengatakan, terdapat banyak kelompok perlawanan di selatan Thailand, namun tidak ada yang mengaku kala terjadi serangan. “Di sini beda dengan negara-negara lain, dimana pelaku penyerangan atau pemboman biasanya mengaku dan menyebutkan diri. Di sini tak ada yang mengaku, padahal jelas-jelas mereka yang melakukan serangan terhadap askar (tentara) kerajaan,” katanya.
Berdasarkan informasi yang beredar secara terbatas, yang termasuk getol beraksi adalah kelompok BRN. Mereka pula yang kerap merepotkan tentara kerajaan dengan aksi-aksi “siluman” dengan menyerang secara hit and run. Pasukan kerajaan sendiri bingung bukan kepalang. Mereka mengibaratkan diri melawan hantu yang tak tampak, namun terasa benar efek serangannya. Telah banyak korban dari pihak tentara akibat serangan bom maupun tembakan sniper (penembak jitu). Namun, pemerintah Thailand tak pernah mempublikasikannya.
Sumber dari: chairulakhmad.wordpress.com
Dipetik daripada:
-----------------------------------------------------------------------------
Kembara: Saya mengesyorkan semua pembaca membelek kajian berkenaan Perjanjian Bangkok (1909) dan Implikasinya kepada Keselamatan dan kestabilan Serantau oleh Nik Anuar Nik Mahmud (Institut Alam dan Tamadun Melayu). Sangat-sangat berguna.
No comments:
Post a Comment